Minggu, 07 Oktober 2012

Rabu, 04 April 2012

Mainan Baru Nurul nih

 Kakek, Nenek, Umi dan Abi makasih yah mainannya. Nurul ceneng banget !


Doa dan Air Mata

Kamis, 05 April 2012, 07.55 WIB
Doa dan Air Mata
Kesungguhan berdoa (Ilustrasi)
REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh Ustaz Toto Tasmara


Perhatikan dengan hati paling bening. Betapa kita jarang menyatakan kerinduan cinta kepada Sang Khaliq dengan rintihan dan air mata. Hari-hari dipenuhi dengan kesenangan dan hura-hura. Hidup seakan tak menemukan wajah sejatinya karena didera tawa yang menutup bashirah (mata batinnya) untuk menatap wajah Ilahi. Padahal, sungguh pada setiap desah napas adalah untaian langkah perjalanan menuju hari akhir.

Teringatlah kita akan sikap mahabbah penuh cinta para perindu Ilahi. Siang hari, ia mengepakkan sayap kehidupannya dengan penuh marhamah (kasih sayang), bagaikan singa jantan ia menunddukan dunianya. Tetapi, bila kelambu malam menyelimuti dirinya, ia pun meneteskan air mata, merintih penuh harap dan takut, bagaikan anak kucing yang merindu dalam dekapan induknya.

Alangkah indahnya tetesan air mata yang merembes dari kelopak mata karena takut, cemas, dan penuh harap ke hadirat Ilahi. Sejatinya, memang tangisan itu adalah bahasa batin. Ungkapan kalimat yang tidak mungkin diungkapkan dan diartikulasikan sepenuhnya dengan bahasa lisan. Allah berfirman, "Dan sujudlah mereka sambil menangis, dan bertambah khusyuk." (QS al-Isra’ [17]: 109).

Tangisan yang muncul karena takut kepada Allah, akan menambah rasa khusyuk dan keyakinan bahwa dia akan terbebaskan dari beban yang berat di dunia dan di akhirat. Rasulullah SAW telah bersabda, “Tidak akan masuk ke dalam neraka seorang yang pernah menangis karena takut kepada Allah.” (HR Tirmidzi dalam Riyaduh Shalihin, I/393).

Rasulullah SAW tidak hanya berkata-kata tentang betapa pentingnya menangis, tetapi beliau pun memberikan contoh kemuliaan akhlaknya dengan menunjukkan sikapnya bahwa menangis itu memang dibutuhkan. Ketika shalat dan berdoa, Rasul khusyuk dan tenggelam dalam kerinduan kepada Allah disertai dengan isak tangis yang merintih.

Imam Abu Dawud meriwayatkan, “Saya datang kepada Nabi SAW, sedangkan beliau melaksanakan shalat, maka terdengar napas tangisannya bagaikan suara air mendidih dalam bejana.” (HR Abu Daud dari Abdullah bin as-Sykhir RA dalam Riyadus Shalihin, I/394).
Hal serupa juga ditunjukkan Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah. Ali berkata, “Tetesan air mata dan ketakutan hati adalah bagian dari rahmat Allah saat berzikir kepada-Nya. Jika kamu mendapatkan kondisi ini, sampaikan doamu. Dan sekiranya ada seorang hamba dalam umat ini menangis, niscaya Allah SWT menyayangi umat itu karena zikirnya yang disertai tangisan.” (Biharul Anwar, 93: 336).

Menangislah dengan deraian air mata. Ia sangat diperlukan untuk menundukkan hati dan jiwa yang kaku karena tak pernah merasa takut kepada Allah. Menangislah, karena tangisanmu akan membawamu pada perasaan yang halus dan peka pada kehidupan.
Karena itu, saudaraku, iringilah doa-doamu dengan air mata. Adukan suka-dukamu kepada Allah dengan wajah basah dan hati gerimis. Karena sesungguhnya, di setiap tetes air matamu akan ada ijabah Ilahiyah yang tersenyum. Wallahu a’lam.

Selasa, 03 April 2012

Jujur Pangkal Bahagia

Rabu, 04 April 2012, 07:20 WIB
Jujur Pangkal Bahagia
Kejujuran (ilustrasi).
Oleh: Amir Faishol Fath
Banyak orang mengejar kebahagiaan di balik kemegahan materi. Padahal, itu semua hanyalah kesemuan belaka. Kalau ingin bahagia jujurlah. Jujur kepada Allah sebagai hamba-Nya, jangan basa-basi dan jangan setengah-setengah. Jujur sebagai suami, maka selalu menjauhi dosa dan memberikan nafkah secara halal dan maksimal.

Jujur sebagai istri, maka selalu menjaga kehormatan diri dan harta suami dan benar-benar menjadi tempat berteduh bagi suami. Jujur sebagai pemimpin, maka selalu menjunjung tinggi asa musyawarah dan bekerja keras untuk menegakkan keadilan dan memastikan kesejahteraan rakyatnya.

Bila kejujuran seperti tersebut di atas terwujud, banyak hikmah yang akan dipetik. Pertama, jujur akan mengantarkan ke surga. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya kejujuran akan mengantarkan kepada kebaikan dan kebaikan akan mengantarkan ke surga... dan sungguh kebohongan akan mengantarkan kepada dosa, dan dosa akan mengantarkan kepada neraka...” (HR Bukhari-Muslim).

Berdasarkan ini, jelas bahwa tidak mungkin kebaikan akan datang jika manusia yang berkumpul di dalamnya adalah para pembohong dan pendusta. Bila di tengah mereka menyebar kebohongan, otomatis dosa akan semakin merajalela. Bila dosa merajalela, jaminannya adalah neraka.

Kedua, jujur akan melahirkan ketenangan. Rasulullah SAW bersabda, “... maka sesungguhnya kejujuran adalah ketenangan dan kebohongan adalah keraguan...” (HR Turmidzi). Orang yang selalu jujur akan selalu tenang sebab ia selalu membawa kebenaran. Sebaliknya, para pembohong selalu membawa kebusukan dan kebusukan itu membawa kegelisahan akibat kebusukannya. Ia akan selalu dihantui dengan kebohongannya dan takut hal itu akan terbongkar. Dan, bila seorang pembohong seperti ini menjadi pemimpin, ia tidak akan sempat mengurus rakyatnya karena sibuk menyembunyikan kebusukan dalam dirinya.

Ketiga, jujur disukai semua manusia. Abu Sufyan pernah ditanya oleh Heraklius mengenai dakwah Rasulullah SAW. Abu Sufyan menjelaskan bahwa di antara dakwahnya adalah mengajak berbuat jujur. (HR Bukhari-Muslim).

Rasulullah SAW terkenal sebagai manusia yang paling jujur. Bahkan, sebelum kedatangan Islam, beliau sudah masyhur sebagai orang yang jujur. Orang-orang kafir Makkah pun mengakui kejujuran Rasulullah SAW sekalipun mereka tidak beriman. Bahkan, mereka memberi gelar "Al-Amin" (orang yang tepercaya) kepada Rasulullah. Selain itu, mereka juga selalu menitip kan barang berharga kepada beliau.

Keempat, jujur akan mengantarkan pelakunya pada derajat tertinggi. Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang memohon dengan jujur untuk mati syahid, (maka ketika ia wafat) ia akan tergolong syuhada sekalipun mati di atas kasurnya.” (HR Muslim).

Kelima, jujur akan mengantarkan pada keberkahan. Nabi Muhammad bersabda, "Pembeli dan pedagang jujur dalam bertransaksi dagang, maka akan diberkahi Allah. Sebaliknya, jika menipu, Allah akan mencabut keberkahan dagangannya." (HR Bu khari Muslim). Wallahu a’lam.

sumber: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/04/03/m1wc20-jujur-pangkal-bahagia

Minggu, 01 April 2012

CERPEN (birrul walidain)

Restumu Ibu


Ilustrasi (inet)
dakwatuna.com – Udah! Kalau masalah berpakaian, Ibu gak pernah akur sama kamu!! Brakk!!! Ibu membanting pintu kamarnya setelah memperlihatkan seuntai bening jatuh dari matanya. Astaghfirullahaladziim… Betapa teganya diriku. Mengapa suaraku tiba-tiba ikut meninggi? Apa daya, emosi tengah menguasaiku. Aku hanya mampu diam, menahan amarah atas ketidakpahaman Ibu tentang apa yang kuanggap benar dan atas ketidakmampuanku menyampaikan kebenaran itu. Yah, Ibu membelikanku sebuah kaos berwarna putih tulang, lengan panjang, dan modis. Manis sekali, aku pun menyukainya. Tetapi, saat aku memakainya dan ia begitu ketat di badanku, aku urung memilikinya. Sudah beberapa kali hal ini terjadi. Sungguh aku tidak tega membayangkan perasaan Ibu kala memilih baju-baju itu untuk anak perempuan satu-satunya.

Ibu Cuma ingin kamu seperti anak-anak lain, berjilbab yang rapi tapi modis. Coba lihat! Mba Maya juga rajin ngaji, cerdas, dan bacaan Qur’annya bagus. Tapi pake jilbabnya juga modis kok!! Mba Kiki tuh! Cantik berpakaiannya, tidak seperti emak-emak!! Suatu saat Ibu membandingkanku dengan keponakannya yang lain. Oh, aku hanya bisa menahan gelora dalam hatiku. Ya Allah, kenapa harus Mba Maya? Mba Kiki? Yang Ibu ingin aku jadikan panutan? Kenapa bukan Fatimah? Aisyah? Atau Ibunda Khadijah?

Selalu itu yang aku curhatkan kepada murabbiyahku ketika kembali dari liburan di rumah. Semenjak kuliah dan mengenal teman-teman di LDK, aku memang berubah. Jilbabku menjadi lebih panjang dan konsisten. Dulu, aku berjilbab karena memang terbiasa. Sekolah dasar di MI yang mewajibkan siswinya berjilbab dan itu terbawa hingga aku SMA. Hanya saja, aku mengenakan jilbab saat ke sekolah. Ketika pergi keluar, aku menanggalkannya.

“Istiqamah ya dek, wajar jika orang tua mengkhawatirkan perubahan pada anaknya. Apalagi sekarang marak terjadi fitnah bagi jilbaber, dikira aliran sesat dan sebagainya. Hal terpenting adalah bagaimana perubahan zahir kita dibarengi dengan perilaku yang bertambah baik. Kita memang harus berkorban lebih. Lebih awal bangunnya supaya bisa bantu-bantu lebih rajin. Lebih santun lagi bicaranya, dan lebih patuh selama bukan untuk maksiat.” Pesan Mba Hanin.

“Syukran ya Mba.” Kataku sambil tersenyum. Lega rasanya jika telah mendengar taujih dari Mba Hanin, apalagi solusi beliau kongkret sekali. Aku harus menunjukkan indahnya Islam lewat perilaku ku. Bukankah dakwah yang ampuh adalah dengan teladan? Bukankah dakwah lebih utama kepada orang-orang terdekat? Kepada keluarga?

Sekarang adalah liburan semester kelima. Besok Aku mudik lagi ke rumah. Setelah halaqah ditutup, aku memboncengi Fitri menuju asrama mahasiswi. Fitri adalah sahabatku semenjak semester awal kuliah. Sebelum menginjakkan kaki di Purwokerto ini, aku pernah berdoa agar di perantauan nanti, aku diberikan teman yang baik, sehingga aku bisa menjadi baik pula. Begitulah, kemudian Allah mempertemukanku dengan Fitri. Ia seorang akhwat anggun nan tangguh. Ia tidak segan menegurku jika aku salah. Aku sangat senang apabila ia menasehatiku. Memang tidak enak sih, tapi hati kecilku selalu membenarkan nasihatnya. Maka, tak ada alasanku menolak nasihat itu. “Oleh-olehnya ya Git!” Katanya setelah aku pamit, “Insya Allah. Assalamu’alaikum…” Balasku sambil melaju.
***

Aku pulang membawa misi tentu saja, mengenai lebih baik dan lebih lebih lainnya. Usai Shalat subuh, aku mengerjakan semua pekerjaan rumah, mulai dari mencuci piring, menyapu, mengepel, dan menyiapkan minum teh orang serumah. Kecuali mencuci baju yang memang dikerjakan orang luar. Ibu yang keluar kamar sambil mengantuk berkata, “Baru pulang ke rumah kan capek nak?”
“Gak papa Bu, mumpung aku di rumah.” Kataku. Hal itu kulakukan setiap hari, memang melelahkan. Ketika aku mulai capek, aku selalu membisikkan kepada diriku sendiri salah satu judul materi mentoring dulu “Birrul walidaini!”

Siang hari, aku duduk-duduk di depan tivi bersama Ibu. Mengobrol tentang kuliah dan kegiatan-kegiatanku. Aku ingat, Mba Hanin pernah berpesan agar kita lebih terbuka kepada orang tua tentang kegiatan kita. Tujuannya adalah agar orang tua tahu, kita tidak melakukan kegiatan aneh atau menyimpang. “Oh, terus kamu ngajinya di mana? Kerudungnya panjang-panjang juga kayak kamu ya? Alirannya apa?” Sampai juga pada pertanyaan itu.

“Tempatnya gantian Bu, di tempat Thea, Ati, atau rumah Mba Hanin. Kadang semua kelompok digabung jadi rame, seneng deh Bu. Gak ada aliran-aliran Bu, kita sama kok, ngajinya Al-Qur’an dan Hadits.” Aku menambahkan penekanan pada jawaban terakhirku.
“Eh, tau gak? Ternyata pake kerudung yang bener tuh kayak kamu kata Bu Wasilah.” Kata Ibu sambil malu-malu.
“Bu Wasilah siapa?”
“Itu, guru ngaji di mushalla. Kan ibu sekarang ngaji bareng ibu-ibu lain.”
“Jadi, Ibu ngijinin aku pake kerudung kayak gini dong?” Tanyaku.
“Yang biasa ajalah.” Ibu tidak mau kalah. Aku cuma tersenyum.
***

Aku sudah dimutasi dari Purwokerto karena memang studiku telah usai. Entah yang keberapa kali halaqah berjalan, kali ini giliran rumahku menjadi tempat berkumpul majelis kami. Aku memilihkan tempat di lantai atas. Tempat yang tenang dan nyaman. Ibu menerima mereka dengan ramah.
Halaqah kami dimulai ba’da Zhuhur dan berakhir menjelang Maghrib. Setelah semua kawanku pergi, Ibu tiba-tiba mendekat ke arahku, ”Ibu juga ikutan denger tadi lho Git.” Kata Ibu sambil tertawa kecil, aku lumayan terkejut. Oh, Ibu tadi memata-matai kami (dalam artian baik).
“Teh Eka pinter ya… Materinya bagus dan gak aneh-aneh.” Tambah Ibu
“Ya enggak aneh-aneh Bu.” Aku berkomentar sambil membantu membereskan tikar.
“Ibu gak perlu khawatir lagi deh. Besok-besok ngajinya di sini lagi aja Git. Biar didoain rumahnya dan berkah.” Kata Ibu dengan tulus.